Kasus pernikahan dini kembali menyita perhatian publik, kali ini terjadi di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Seorang siswa SMP dan siswi SMK dikabarkan menikah meski masih berusia di bawah ketentuan hukum pernikahan. Kejadian ini memicu reaksi cepat dari aparat penegak hukum.

Polisi menerima laporan dari pihak yang merasa prihatin atas pernikahan tersebut. Mereka langsung melakukan penyelidikan untuk menelusuri peran orang tua dan pihak lain yang diduga terlibat. Berdasarkan keterangan awal, orang tua dari kedua anak mengaku menyetujui pernikahan tersebut atas dasar kesepakatan keluarga.

Namun, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Perkawinan menyatakan bahwa batas minimal usia menikah adalah 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan medusa 88 . Karena itu, polisi melihat potensi pelanggaran hukum, terutama jika proses pernikahan tidak melalui mekanisme dispensasi resmi dari pengadilan agama.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga turut angkat suara. Mereka menyoroti lemahnya pengawasan terhadap praktik pernikahan anak, serta minimnya edukasi kepada masyarakat soal dampak psikologis dan hukum dari pernikahan dini. KPAI mendesak pemerintah daerah untuk memperketat pengawasan dan menguatkan sosialisasi hukum keluarga di tingkat desa.

Sementara itu, polisi masih terus mengumpulkan bukti dan memeriksa saksi untuk menentukan langkah hukum selanjutnya. Jika terbukti terjadi pelanggaran hukum, orang tua bisa terjerat pasal yang berkaitan dengan perlindungan anak.

Kasus ini menjadi pengingat bahwa praktik pernikahan dini bukan hanya soal adat atau tradisi, tetapi juga menyangkut hak dan masa depan anak. Negara wajib hadir untuk melindungi mereka dari risiko yang membahayakan kehidupan jangka panjang.

By admin